Jumat, 04 Maret 2016

Tasawuf Neosufisme


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Mengamati tren kehidupan yang disisakan oleh ekspansi kapitalisme, yang bukan saja mencuatkan gaya kehidupan yang materialistic, hedonistik, tetapi juga meniupkan rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Sosok kehidupan yang penuh kebengisan, kesadisan, moralitas semakin tak berdaya, seakan tak ada lagi harapan dan cinta. Lantas orang menyimpulkan, modernisme, dipandang gagal memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Dan pertanyaan yang pun mencuat, model peradaban yang begaimana lagi yang bakal muncul di hari esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap muslim yang sadar, pasti merasakan gairah dan optimisme dalam menapaki waktu. Biarlah orang lain terus mengalami himpitan dirinya sendiri, keputus asaan menggerogoti hidupnya, karena keserakahan telah membunuh benih cinta dan harapannya, sehingga nurani tak kuasa lagi untuk berbisik asri.
Dalam perjalanan sejarah spiritualis muslim, terlihat bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu dirasakan amat mengasikkan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa memasuki kawasan realita baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh kebengisan, kezaliman dan keserakahan. Dengan dunia spiritual, seseorang merasakan hidup di alam cinta, di alam kemenangan. Hukum atau syari’at lantas dipandang sebagai perwujudan atau pengejawentahan secara lahir dari yang batin, sedang yang batin manusia itu adalah iman
B.     Rumusan Penulisan
1.      Apa Pengertian Neosufisme?
2.      Apa saja Ciri-ciri Neosufisme?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui dan memahami Neosufisme
2.      Mengetahui dan memahami ciri-ciri Neosufisme


PEMBAHASAN
A.    Pengertian Neosufisme
Sufisme terdahulu mencoba mengungkapkan bahwa menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar adalah pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mementingkan dan mengutamakan batiniyah dan kurang memperhatikan aspek formal atau lahiriyah. Maka wajar  apabila kaum sufi kurang tertarik dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Islam merupakan agama yang kaffah, memberikan kebebasan dalam penghayatan keagamaan, baik itu yang lahiri ataupun yang batini. Akan tetapi, kecenderungan terhadap yang lahiri ini lebih banyak.
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah jenia tasawuf yang telah diperbaharui, dimana ciri dan kandungan asketik serta metasisinya sudah diganti dengan kandungan dalil-dalil ortodoksi Islam. Metode tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan dalam tasawuf. Gagasan dari neosusidme yaitu sufisme yang cenderung untuk menimbulkan aktivitas sosial dan menanamkan kembali sikap positif terhada dunia. Tokoh pentingnya adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Neosufisme tidak menolak epistemologi kasyf sebagai derajat proeses-proses yang bersifat intelektual dan mempergunakan seluruh makna moral serta etos sosial.
Dalam perjalanan sejarahnya, ada dua kubu penghayatan, ini sempat menimbulkan konflik ketegangan antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, ahli haqiqat dan ahli syari’at. Ini terjadi terutama pada abad ke-3 Hijriyah.[1]
Terminology Neo-sufisme pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman. Menurut Fazlur Rahman perintis apa yang ia sebut dengan neo-sufisme ialah Ibn Taimiyah (wafat tahun 728 H) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qoyyim.
Kemunculan kembali sufisme di abad ke-7 H/13 M menjadi tonggak awal sejarah perkembangan tradisi Islam dikemudian hari. Semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad ke-3 H, maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Di antaranya karena dipengaruhi oleh berbagai macam corak budaya, akibatnya muncul dua corak pemikiran tasawuf. Di antara dua corak tersebut ialah corak tasawuf yang materi dasarnya berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ide gagasan dasar pembentukan moralitas yang di back up ulama moderat, dan corak yang satunya ialah tasawuf  yang bersumber pada filsafat dengan kecenderungan tentang materi-materi yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan yang di usung oleh pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman atau ucapan-ucapannya yang ganjil atau sulit dipahami seperti istilah wahdat al wujud, hulul dan lain sebagainya.
Dewasa ini pemikiran para sufi sedang cenderung kepada kajian sekitar Neo Sufisme, kajian yang dewasa ini sedang menghangat, pastinya dimulai pada tahun 2000-2010 di Indonesia, yang sebelumnya kajian ini kurang diresponi di kalangan para sarjanawan Muslim kontemporer. Untuk itu dipandang perlu memetakan pengertian Neo Sufisme ini, agar tidak terjadi kerancuan kajian sekitar Neo Sufisme dikemudian hari.
Jika ditinjau dari sudut bahasa, kata Neo Sufisme terdiri dari dua kata, yaitu Neo dan Sufisme. Kata Neo berarti baru atau yang diperbarui, sedangkan sufisme adalah nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam Islam. Dengan demikian yang dimaksud dengan Neo Sufisme adalah modernisasi tasawuf.

        Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk ke dalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai 1800 M., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal. Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau intuisi-intuisi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modren.[2]
Sufisme sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek lahiriahnya. Oleh kerana itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini, kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja. Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah. Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini, al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki dunia tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat. Tarekat adalah merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.
Neo-sufisme secara terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu Fazlur Rahman dalam bukunya Islam. Kemunculan istilah ini tidak begitu saja diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam penjelajahan menuju konsep hakikat, maka Hamka menghendaki agar seseorang pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Konsep neo-sufisme oleh Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun (keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia, serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.[3]
Kebangkitan kembali tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh karena itu ramai manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.

B.     Ciri-ciri Neo-sufisme
Maksud dari neo-sufisme adalah tipe ajaran tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Seorang sufi menurut Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah malam bangun bertahajud, siang hari berusaha. Jika negara dalam keadaan bahaya oleh serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintangi masuk ke dalam tentara. Dapat dipahami bahwa neo-sufisme lahir guna meluruskan sufisme terdahulu yang terlalu diwarnai unsur-unsur falsafi dan kaum sufinya tenggelam dalam kegiatan-kegiatan ritual yang seakan melepaskan dirinya dari syariat dan panggilan hidup duniawi. Di sisi lain, neo-sufisme juga ingin memberi warna tasawuf dalam kehidupan yang serba glamour dan materialistis. Ciri-ciri neo-sufisme ini pada dasarnya masih terkait dengan sufisme klasik yang muncul terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam rincian berikut:
1.      Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan neo-sufisme dimotivasi oleh faktor-faktor yang sama, yaitu gaya hidup glamour, materialistisk, konsumeristik sebagai imbas kegarangan rasionalisme dan kekerasan perebutan hegemoni kekuasaan.
2.      Kesucian jiwa rohaniah, bahwa keduanya menekankan urgensi
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
3.      Pendekatan esoteri, yaitu sama-sama berkeyakinan bahwa pemahaman keagamaan harus dihayati melalui pendekatan esoteris, pengalaman metafisis dan al-kasyf.
4.      Dhikrullah dan muraqabah sama-sama penting untuk mencapai keridhaan Ilahi.
5.      Sikap uzlah, menurut neo-sufisme diperlukan sewaktu diperlukan saja sekedar menyegarkan wawasan melalui muhasabah. Dalam sufismeklasik dilakukan uzlah total.
6.      Zuhd, menurut neo-sufisme kehidupan dunia tetap harus diperjuangkan, tapi disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Dalam sufisme klasik dunia harus dibenci karena menghalangi pencapaian tujuan hidup yang sempurna. [4]



Jadi neo-sufisme berusaha membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at. Karena Abu ‘Abbas bin Ahmad menjelaskan bahwa barang siapa yang membiasakan dalam dirinya berperilaku yang sesuai dengan syari’at, maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya ma’rifah, dan tidak ada kedudukan yang lebih utama (mulia) disbandingkan dengan mengikuti (Nabi Muhammad) SAW di dalam perintah-perintahnya, perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlaknya. 
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sufisme juga tidak boleh lepas dengan syari’at, karena suatu perbuatan yang tanpa mengikuti sunnah Rosulullah itu ialah batil. Tapi tidak boleh pula kita menuduh semua ahli tasawuf dahulu sebagai orang yang sesat, karena imam-imam tasawuf seperti Junaid, Hasan al-Bashri, Bisrul Hafi, dan Sahal at-Tastari yang kata-katanya dijadikan hujjah oleh ulama kekinian. Maka penerapan neo-sufisme yang berusaha memadukan antara ajaran tasawuf dahulu dengan syari’at, sosial kemasyarakatan akan lebih bisa diterima dan diterapkan di zaman kontemporer ini. karena peribadatan kepada ilahi bukan saja diterapkan dengan batiniyah saja tapi juga perlu adanya sosial kemasyarakatan. Seperti yang dikatakan ahli tasawuf  Sa’di “pelayanan kepada sesama adalah seluruh peribadatan. Peribadatan kepada Tuhan tidak dilakukan (hanya) dengan manik-manik tasbih, jubah kesalehan, atau sajadah”.
Pada perkembangan sufisme, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan yang harus dilalui oleh seorang sufi yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu iaitu al-ahwal. Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta batasannya sehingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam pada itu juga, muncul para penulis tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi (w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan penulis lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus berkembang ke arah penyempurnaan dengan wujudnya istilah-istilah baru dalam dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dhawq dan al-kashf. [5]
Sejak kemunculan doktrin al-fana’ dan al-ittihad, maka berlakulah perselisihan faham terhadap tujuan akhir kepada maksud sufisme. Jika pada mulanya sufisme bertujuan suci dan murni yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah S.W.T sehingga dapat ‘berkomunikasi’ denganNya, maka selanjutnya tujuan itu terus berkembang kepada derajat ‘penyatuan diri’ dengan Tuhan. Konsep ini berasaskan kepada paradigma bahwa manusia yang hidup secara biologis merupakan sejenis makhluk yang mampu melakukan satu transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi`raj) spiritual ke alam ketuhanan. Dengan adanya world view terhadap konsep seperti itu, maka muncul pula konflik dalam kalangan para ahli hukum (fuqaha) dan para teologis dengan ahli-ahli sufi. Mereka (fuqaha dan teologis) menuduh ahli-ahli sufi sebagai perusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun apabila dikaji dengan lebih mendalam konflik tersebut bukanlah bersumberkan dari pemikiran sufisme, akan tetapi di sana terdapat unsur-unsur terhadap kepentingan politik dalam diri masing-masing.
Dengan wujudnya kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai Ilahiyah menunjukkan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rohani selain juga makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia memerlukan hal-hal yang bersifat kebendaan, namun sebagai makhluk rohani ia memerlukan hal-hal yang bersifat kerohanian. Bersesuaian dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek kerohanian, maka manusia itu pada dasarnya cenderung untuk hidup secara bertasawuf atau dengan perkataan lain, bertasawuf merupakan fitrah hidup manusia.
Berdasarkan nilai-nilai yang wujud dalam ajaran tasawuf mengatakan bahawa selagi manusia masih dibelenggu dengan kungkungan jasmani dan kebendaan, maka selagi itulah dia tidak bertemu dengan nilai-nilai rohani yang dicari. Oleh yang demikian, seorang hamba itu perlu berusaha melepaskan roh dari kungkungan jasmaninya. Maka, dia perlu melalui jalan latihan (riyadah) yang memerlukan masa yang cukup lama. Riyadah atau latihan ini juga bertujuan untuk mendidik rohnya supaya sentiasa dalam keadaan suci dan bersih. Ini kerana naluri manusia sentiasa berusaha untuk mencapai yang baik dan sempurna dalam mengharungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan ini, ianya tidak dapat dilalui hanya dengan mempergunakan ilmu pengetahuan sahaja kerana ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan sekiranya bergantung kepada ilmu kebendaan sahaja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanyalah dengan iman yang kukuh dan perasan hidup yang aman bersama Allah S.W.T.

Oleh karena kecenderungan manusia itu ingin selalu berbuat baik bersesuaian dengan nilai-nilai Ilahiyah, maka segala perbuatan yang menyimpang daripadanya merupakan penyimpangan dan melawan fitrahnya. Secara prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah diciptakan Allah pada diri manusia adalah kehidupan yang hakiki. Sebagaimana yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam arwah sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Berdasarkan ayat di atas, dapatlah difahami bahawa pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah S.W.T. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa Allah itu adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang berlaku terhadap kehidupan manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh persekitaran sama ada baik atau buruk yang berperanan dalam membentuk keperibadian seseorang manusia.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang sentiasa ‘mendambakan’ diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Hal ini karena kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah S.W.T. yang merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah pula merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia selaku khalifah di muka bumi di mana kejadian asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahawa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan.
Neosufisme tidak serta merta menghapuskan sufisme klasik, akan tetapi hanya ingin melepaskan diri-pribadi dari “ikatan-tarekat”, bukan dalam maqamat dan ahwalnya. Dalam artian bahwa masyarakat modren melakukan reaktualisasi dan redefansi dari maqamat dan ahwal kaum sufi, diantaranya :
1.      Taubat
Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, tetapi secra garis besarnya dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu: pertama taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus menerus. Kedua, ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada murka Allah. Ketiga, taubat ialah terus menerus walaupun sudah tidak pernah lagi melakukan dosa, yang disebut dengan taubatan nasuha.
2.      Zuhud
Zuhud diartikan keadaan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan. Namun al-ghazali mengartikan zuhud dengan mengurangi keinginan pada dunia dan menjauhkan dirinya dengan penuh kesadaran. Menurut pandangan sufi, dunia dan segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulakan kerusakan dan dosa. Oleh karena itu, calon sufi harus terlebih dahulu zuhud.
3.      Wara’
Al-wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Namun sufi mempunyai pandangan tersendiri, wara’ berarti  meninggalkan sesuatu yang tidak jelas hukumnya, seperti Ibrahim bin Adham berpendapat bahwa wara’ adalah meninggalkan segla yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan. Dari segala jeninya wara’ terbagi dua yaitu wara’ lahiriyah yaitu tidak mempergunakan anggota rubug untuk hal-hal yang tidak diridhai oleh Allah SWT, dan wara’ bathiniyah yaitu tidak mengisi hatinya jecuali Allah.
4.      Al-Farq
Al-Farq secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri kita. Kalau diberi diterima, tidaka memninta. Tapi juga tidak menolak.
5.      Sabar
Secara harfiah berarti menahan. Manurut al-Ghazali sabar adalah salah satu kondisi mental dalam mengendalikan nafsu tang tumbuhnya adalah atas dorongan agama. Sabar yang dimaksud oleh para sufi adalah konsekuwen dan konsisten dalam melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan laranga-Nya.
6.      Tawakal
Tawakal yaitu bersandar atau memprcayakan diri kepada Allah SWT. Tawakkal dalam kajian sufi terdari tiga tingkatan yaitu: tawakkal artinya tentramnya hati terhadap apa yang telah dijanjikan Allah, menyerahkan urusan kepada Allah karena Dia telah mengetahui keadaann dirinya, dan merasa ridha menerima kekuatan Allah.
7.      Ridha
Ridha secara harfiah adalah rela, suka senang. Ridha menurut Harun Nasution adalah menerima qadha dan qadar Tuhan, dengan senang hati, untuk itu semua perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh hingga yang tersisa ialah perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa malapetaka ia tetap senag dan ridha menerimanya sebagaiman ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[6]

Singkatnya, neosufisme ingin mengajarkan bahwa dalam menjalani hidup modren ini, nilai-nilao sufistik yang diwariskan para pendahuli tidaklah diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, perlu dilakukan reorentasi dan reakutilisasi agar dapat diaktualkan di tengah masyarakat modren. Ataukah memang benar dalam literatur sufusme, ada keyakinan yang cukup radikal bahwa bukan saja jalan menuju Tuhan itu sebanyak jumlah agama yang ada akan tetapi lebih jauh dari itu jalan menuju Tuhan adalah banyak jumlah manusia itu sendiri.







PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Latar belakang munculnya neo-sufisme adalah karena era post modernisme yang ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah dalam aspek kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Dua ciri peradaban modern yang paling fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas, yang disebabkan oleh adanya dua unsur masyarakat modern ini, maka terbentuklah  mental manusia modern menjadi rasional serta materialistik, karena materialistik maka manusia modern kemudian cenderung individualistik, mengutamakan gaya hidup materialistik dan hedonistik banyak yang mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab keterbelakangan. Maka oleh sebab inilah muncul neo-sufisme.
2.      Ciri utama neo-sufisme ialah membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah dan zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus sejalan dengan kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at.





[1]Samsul Munir Amin , Ilmu Tasawuf,( Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 550
[2]Ibid, hlm. 553
                [3] Yunasir Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya ,1987), hlm. 197
[4] Samsul Munir Amin , Ilmu Tasawuf,( Jakarta : Amzah, 2012), hlm. 234
[5]Ibid. hlm. 249
[6] Yunasir Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya ,1987), hlm. 590

Tidak ada komentar:

Posting Komentar