PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mengamati tren kehidupan yang disisakan oleh ekspansi kapitalisme, yang
bukan saja mencuatkan gaya kehidupan yang materialistic, hedonistik, tetapi
juga meniupkan rasa terancam dan kecemasan dalam masyarakat. Sosok kehidupan
yang penuh kebengisan, kesadisan, moralitas semakin tak berdaya, seakan tak ada
lagi harapan dan cinta. Lantas orang menyimpulkan, modernisme, dipandang gagal
memberikan kehidupan yang lebih bermakna kepada manusia. Dan pertanyaan yang
pun mencuat, model peradaban yang begaimana lagi yang bakal muncul di hari
esok? Masih adakah tersisa harapan dan cinta di masa datang? Bagi setiap muslim
yang sadar, pasti merasakan gairah dan optimisme dalam menapaki waktu. Biarlah
orang lain terus mengalami himpitan dirinya sendiri, keputus asaan menggerogoti
hidupnya, karena keserakahan telah membunuh benih cinta dan harapannya,
sehingga nurani tak kuasa lagi untuk berbisik asri.
Dalam perjalanan sejarah spiritualis muslim, terlihat
bahwa transendensi adalah mi’raj spiritual para sufi, karena jalan itu
dirasakan amat mengasikkan. Dalam suasana transendensi, seorang sufi merasa
memasuki kawasan realita baru, realita yang terbebaskan dari hidup yang penuh
kebengisan, kezaliman dan keserakahan. Dengan dunia spiritual, seseorang
merasakan hidup di alam cinta, di alam kemenangan. Hukum atau syari’at lantas
dipandang sebagai perwujudan atau pengejawentahan secara lahir dari yang batin,
sedang yang batin manusia itu adalah iman
B. Rumusan Penulisan
1. Apa Pengertian Neosufisme?
2. Apa saja Ciri-ciri Neosufisme?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui dan memahami
Neosufisme
2.
Mengetahui dan memahami
ciri-ciri Neosufisme
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Neosufisme
Sufisme terdahulu
mencoba mengungkapkan bahwa menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar
adalah pada pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan ini adalah timbulnya
kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih mementingkan dan
mengutamakan batiniyah dan kurang memperhatikan aspek formal atau lahiriyah.
Maka wajar apabila kaum sufi kurang
tertarik dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Islam merupakan agama yang kaffah, memberikan kebebasan dalam
penghayatan keagamaan, baik itu yang lahiri ataupun yang batini.
Akan tetapi, kecenderungan terhadap yang lahiri ini lebih banyak.
Menurut Fazlur Rahman, neosufisme adalah jenia tasawuf yang telah
diperbaharui, dimana ciri dan kandungan asketik serta metasisinya sudah diganti
dengan kandungan dalil-dalil ortodoksi Islam. Metode tasawuf baru ini
menekankan dan memperbaharui faktor moral asli dan kontrol diri yang puritan
dalam tasawuf. Gagasan dari neosusidme yaitu sufisme yang cenderung untuk
menimbulkan aktivitas sosial dan menanamkan kembali sikap positif terhada
dunia. Tokoh pentingnya adalah Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Neosufisme tidak menolak epistemologi kasyf sebagai derajat proeses-proses yang
bersifat intelektual dan mempergunakan seluruh makna moral serta etos sosial.
Dalam perjalanan
sejarahnya, ada dua kubu penghayatan, ini sempat menimbulkan konflik ketegangan
antara ahli tasawuf dan ahli fiqih, ahli haqiqat dan ahli syari’at. Ini terjadi
terutama pada abad ke-3 Hijriyah.[1]
Terminology Neo-sufisme
pertama kali dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yakni Fazlur Rahman.
Menurut Fazlur Rahman perintis apa yang ia sebut dengan neo-sufisme ialah Ibn
Taimiyah (wafat tahun 728 H) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Ibn
Qoyyim.
Kemunculan kembali
sufisme di abad ke-7 H/13 M menjadi tonggak awal sejarah perkembangan tradisi
Islam dikemudian hari. Semakin berkembangnya tasawuf terutama pada abad ke-3 H,
maka pengaruh eksternal semakin dirasakan. Di antaranya karena dipengaruhi oleh
berbagai macam corak budaya, akibatnya muncul dua corak pemikiran tasawuf. Di
antara dua corak tersebut ialah corak tasawuf yang materi dasarnya berdasar
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan ide gagasan dasar pembentukan moralitas yang
di back up ulama moderat, dan corak yang satunya ialah tasawuf yang bersumber pada filsafat dengan
kecenderungan tentang materi-materi yang berhubungan antara manusia dengan
Tuhan yang di usung oleh pemikir yang terkadang mengemukakan pengalaman atau ucapan-ucapannya
yang ganjil atau sulit dipahami seperti istilah wahdat al wujud, hulul
dan lain sebagainya.
Dewasa ini pemikiran
para sufi sedang cenderung kepada kajian sekitar Neo Sufisme, kajian yang
dewasa ini sedang menghangat, pastinya dimulai pada tahun 2000-2010 di
Indonesia, yang sebelumnya kajian ini kurang diresponi di kalangan para
sarjanawan Muslim kontemporer. Untuk itu dipandang perlu memetakan pengertian
Neo Sufisme ini, agar tidak terjadi kerancuan kajian sekitar Neo Sufisme
dikemudian hari.
Jika ditinjau dari sudut bahasa, kata Neo Sufisme terdiri dari dua kata,
yaitu Neo dan Sufisme. Kata Neo berarti baru atau yang diperbarui, sedangkan
sufisme adalah nama umum bagi berbagai aliran sufi dalam Islam. Dengan
demikian yang dimaksud dengan Neo Sufisme adalah modernisasi tasawuf.
Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk ke dalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai 1800 M., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal. Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau intuisi-intuisi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modren.[2]
Istilah modernisasi, seperti beberapa kata lainnya, berasal dari bahasa Barat yang telah dipakai dan masuk ke dalam bahasa Indonesia. Awalnya di Barat, modernisasi ini merupakan gerakan yang muncul antara tahun 1650 sampai 1800 M., suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal. Modernisasi Eropa tersebut merupakan sebuah aliran, gerakan atau paham yang berusaha mengubah adat istiadat atau intuisi-intuisi lama dan sebagainya, agar semua itu sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modren.[2]
Sufisme sebagaimana
yang telah diterangkan sebelum ini menempatkan penghayatan keagamaan melalui
pendekatan batiniah. Kesan dari pendekatan esoterik ini adalah disebabkan
kepincangan dalam tindak tanduk nilai-nilai Islam yang lebih mengutamakan makna
batiniah atau ketentuan yang tersirat saja tanpa memerhatikan juga dari aspek
lahiriahnya. Oleh kerana itu adalah wajar apabila melalui penonjolan sikap ini,
kaum sufi tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan, bahkan lebih tertumpu ke arah aspek-aspek peribadatan saja.
Dari sudut lain, terdapat pula kelompok muslimin (bahkan mayoritasnya) yang
lebih mengutamakan aspek-aspek formal–lahiriah ajaran agama melalui pendekatan
eksoterik-rasional. Dalam hal ini, mereka lebih menitikberatkan perhatian dari
aspek-aspek syariah saja sehingga kelompok ini digelar sebagai kaum lahiriah.
Dari banyak usaha percobaan menyatukan antara dua pandangan yang berbeda
orientasi itu, maka al-Ghazali telah mengutarakan konsep yang dikenal sebagai
syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh. Dalam hal ini,
al-Ghazali menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses
berperingkat dan berpadu antara syariat dan tasawuf. Sebelum memasuki dunia
tasawuf, seseorang harus terlebih dahulu memahami Syariat, tetapi untuk dapat
memahami Syariat secara benar dan mendalam, harus melalui proses tarekat.
Tarekat adalah merupakan sistem esoterik yang akan menghasilkan kualitas
pemahaman yang tinggi yang disebut sebagai hakikat.
Neo-sufisme secara
terminologi pertama kali ditonjolkan oleh pemikir muslim kontemporer yaitu
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam. Kemunculan istilah ini tidak begitu saja
diterima para pemikir muslim, tetapi telah menjadikan perbincangan yang luas
dalam kalangan para ilmuwan. Sebelum Fazlur Rahman, Hamka telah memperkenalkan
istilah tasawuf moden dalam bukunya Tasauf Modern. Namun dalam dalam karyanya
ini tidak ditemui istilah “neo-sufisme” yang dimaksudkan di sini. Keseluruhan
isi buku ini terlihat wujudnya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf
al-Ghazali kecuali dalam hal ‘uzlah. Kalau al-Ghazali mensyaratkan ‘uzlah dalam
penjelajahan menuju konsep hakikat, maka Hamka menghendaki agar seseorang
pencari kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat.
Konsep neo-sufisme oleh
Fazlur Rahman sesungguhnya menghendaki agar umat Islam mampu melakukan tawazun
(keseimbangan) antara pemenuhan kepentingan akhirat dan kepentingan dunia,
serta umat Islam harus mampu meformulasikan ajaran Islam dalam kehidupan sosial.[3]
Kebangkitan kembali
tasawuf di dunia Islam dengan istilah baru yaitu neo-sufisme nampaknya tidak
boleh dipisahkan dari apa yang disebut sebagai kebangkitan agama. Kebangkitan
ini juga adalah lanjutan kepada penolakan terhadap kepercayaan yang berlebihan
kepada sains dan teknologi selaku produk dari era modenisme. Modernisme telah
dinilai sebagai gagal memberikan kehidupan yang bermakna kepada manusia. Oleh
karena itu ramai manusia telah kembali kepada nilai-nilai keagamaan kerana
salah satu fungsi agama adalah memberikan makna bagi kehidupan.
B. Ciri-ciri Neo-sufisme
Maksud dari neo-sufisme
adalah tipe ajaran tasawuf yang terintegrasi dengan syari’ah. Seorang sufi
menurut Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah
malam bangun bertahajud, siang hari berusaha. Jika negara dalam keadaan bahaya
oleh serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintangi masuk ke
dalam tentara. Dapat dipahami bahwa neo-sufisme lahir guna meluruskan sufisme
terdahulu yang terlalu diwarnai unsur-unsur falsafi dan kaum sufinya tenggelam
dalam kegiatan-kegiatan ritual yang seakan melepaskan dirinya dari syariat dan
panggilan hidup duniawi. Di sisi lain, neo-sufisme juga ingin memberi warna
tasawuf dalam kehidupan yang serba glamour dan materialistis. Ciri-ciri
neo-sufisme ini pada dasarnya masih terkait dengan sufisme klasik yang muncul
terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam rincian berikut:
1. Kelahiran sufisme klasik dan kebangkitan neo-sufisme dimotivasi oleh
faktor-faktor yang sama, yaitu gaya hidup glamour, materialistisk,
konsumeristik sebagai imbas kegarangan rasionalisme dan kekerasan perebutan
hegemoni kekuasaan.
2. Kesucian jiwa rohaniah, bahwa keduanya menekankan urgensi
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
kebeningan dan kesucian hati dalam segala aspek kehidupan.
3. Pendekatan esoteri, yaitu sama-sama berkeyakinan bahwa pemahaman keagamaan
harus dihayati melalui pendekatan esoteris, pengalaman metafisis dan al-kasyf.
4. Dhikrullah dan muraqabah sama-sama penting untuk mencapai keridhaan Ilahi.
5. Sikap uzlah, menurut neo-sufisme diperlukan sewaktu diperlukan saja sekedar
menyegarkan wawasan melalui muhasabah. Dalam sufismeklasik dilakukan uzlah
total.
6. Zuhd, menurut neo-sufisme kehidupan dunia tetap harus diperjuangkan, tapi
disesuaikan dengan kepentingan ukhrawi. Dalam sufisme klasik dunia harus
dibenci karena menghalangi pencapaian tujuan hidup yang sempurna. [4]
Jadi neo-sufisme berusaha membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah dan zuhd,
supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus sejalan dengan
kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at. Karena Abu ‘Abbas bin Ahmad
menjelaskan bahwa barang siapa yang membiasakan dalam dirinya berperilaku yang
sesuai dengan syari’at, maka Allah akan menerangi hatinya dengan cahaya
ma’rifah, dan tidak ada kedudukan yang lebih utama (mulia) disbandingkan dengan
mengikuti (Nabi Muhammad) SAW di dalam perintah-perintahnya, perbuatan-perbuatan
dan akhlak-akhlaknya.
Dari pemaparan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa sufisme juga tidak boleh lepas dengan syari’at,
karena suatu perbuatan yang tanpa mengikuti sunnah Rosulullah itu ialah batil.
Tapi tidak boleh pula kita menuduh semua ahli tasawuf dahulu sebagai orang yang
sesat, karena imam-imam tasawuf seperti Junaid, Hasan al-Bashri, Bisrul Hafi,
dan Sahal at-Tastari yang kata-katanya dijadikan hujjah oleh ulama kekinian. Maka
penerapan neo-sufisme yang berusaha memadukan antara ajaran tasawuf dahulu
dengan syari’at, sosial kemasyarakatan akan lebih bisa diterima dan diterapkan
di zaman kontemporer ini. karena peribadatan kepada ilahi bukan saja diterapkan
dengan batiniyah saja tapi juga perlu adanya sosial kemasyarakatan. Seperti
yang dikatakan ahli tasawuf Sa’di
“pelayanan kepada sesama adalah seluruh peribadatan. Peribadatan kepada Tuhan
tidak dilakukan (hanya) dengan manik-manik tasbih, jubah kesalehan, atau
sajadah”.
Pada perkembangan
sufisme, muncul berbagai konsepsi atau gagasan ide tentang titik perjalanan
yang harus dilalui oleh seorang sufi yaitu al-maqamat serta ciri-ciri yang
dimiliki seorang salik (calon sufi) pada tingkatan tertentu iaitu al-ahwal.
Selain itu, berkembang pula perbincangan tentang konsep ma‘rifah serta
batasannya sehingga kepada perbincangan tentang konsep fana’ dan ittihad. Dalam
pada itu juga, muncul para penulis tasawuf yang terkemuka seperti al-Muhasibi
(w.243 H), al-Hallaj (w. 277 H.), al-Junayd al-Baghdadi (w. 297 H.) dan penulis
lainnya. Secara konsepnya, periode ini menunjukkan kemunculan dan perkembangan
sufisme sedangkan sebelum itu ia hanya merupakan pengetahuan perseorangan yang
disebut sebagai gaya hidup keberagamaan. Sejak kurun tersebut, sufisme terus
berkembang ke arah penyempurnaan dengan wujudnya istilah-istilah baru dalam
dunia tasawuf seperti konsep intuisi, dhawq dan al-kashf. [5]
Sejak kemunculan
doktrin al-fana’ dan al-ittihad, maka berlakulah perselisihan faham terhadap
tujuan akhir kepada maksud sufisme. Jika pada mulanya sufisme bertujuan suci
dan murni yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah S.W.T sehingga dapat
‘berkomunikasi’ denganNya, maka selanjutnya tujuan itu terus berkembang kepada
derajat ‘penyatuan diri’ dengan Tuhan. Konsep ini berasaskan kepada paradigma
bahwa manusia yang hidup secara biologis merupakan sejenis makhluk yang mampu
melakukan satu transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi`raj)
spiritual ke alam ketuhanan. Dengan adanya world view terhadap konsep seperti
itu, maka muncul pula konflik dalam kalangan para ahli hukum (fuqaha) dan para
teologis dengan ahli-ahli sufi. Mereka (fuqaha dan teologis) menuduh ahli-ahli
sufi sebagai perusak prinsip-prinsip ajaran Islam. Namun apabila dikaji dengan
lebih mendalam konflik tersebut bukanlah bersumberkan dari pemikiran sufisme,
akan tetapi di sana terdapat unsur-unsur terhadap kepentingan politik dalam
diri masing-masing.
Dengan wujudnya
kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai Ilahiyah menunjukkan
bahwa manusia itu pada dasarnya adalah makhluk rohani selain juga makhluk
jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia memerlukan hal-hal yang bersifat
kebendaan, namun sebagai makhluk rohani ia memerlukan hal-hal yang bersifat
kerohanian. Bersesuaian dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan
aspek kerohanian, maka manusia itu pada dasarnya cenderung untuk hidup secara
bertasawuf atau dengan perkataan lain, bertasawuf merupakan fitrah hidup
manusia.
Berdasarkan nilai-nilai
yang wujud dalam ajaran tasawuf mengatakan bahawa selagi manusia masih
dibelenggu dengan kungkungan jasmani dan kebendaan, maka selagi itulah dia
tidak bertemu dengan nilai-nilai rohani yang dicari. Oleh yang demikian,
seorang hamba itu perlu berusaha melepaskan roh dari kungkungan jasmaninya.
Maka, dia perlu melalui jalan latihan (riyadah) yang memerlukan masa yang cukup
lama. Riyadah atau latihan ini juga bertujuan untuk mendidik rohnya supaya
sentiasa dalam keadaan suci dan bersih. Ini kerana naluri manusia sentiasa berusaha
untuk mencapai yang baik dan sempurna dalam mengharungi kehidupannya. Untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan ini, ianya tidak dapat dilalui hanya dengan
mempergunakan ilmu pengetahuan sahaja kerana ilmu adalah produk manusia dan
hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan
kekosongan sekiranya bergantung kepada ilmu kebendaan sahaja. Jalan menuju
kebahagiaan yang hakiki hanyalah dengan iman yang kukuh dan perasan hidup yang
aman bersama Allah S.W.T.
Oleh karena kecenderungan
manusia itu ingin selalu berbuat baik bersesuaian dengan nilai-nilai Ilahiyah,
maka segala perbuatan yang menyimpang daripadanya merupakan penyimpangan dan
melawan fitrahnya. Secara prinsipnya, kehidupan yang berlandaskan fitrah telah
diciptakan Allah pada diri manusia adalah kehidupan yang hakiki. Sebagaimana
yang diketahui juga, bahwa setiap manusia yang lahir ke alam dunia, telah
mengikat satu perjanjian dengan Allah di alam arwah sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 172 yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)”.
Berdasarkan ayat di
atas, dapatlah difahami bahawa pada dasarnya fitrah manusia adalah mentauhidkan
Allah S.W.T. atau setidak-setidaknya jiwa para hamba itu telah berikrar bahwa
Allah itu adalah Tuhannya. Namun perkembangan yang berlaku terhadap kehidupan
manusia di atas muka bumi ini telah dipengaruhi oleh persekitaran sama ada baik
atau buruk yang berperanan dalam membentuk keperibadian seseorang manusia.
Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa tauhid merupakan fitrah dan naluri manusia yang cinta
kepada Tuhan. Maka oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang sentiasa ‘mendambakan’
diri terhadap nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian, selalu cenderung kepada
kebenaran dan ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan. Hal ini karena
kebenaran itu tidak akan dicapai melainkan dengan jalan Allah S.W.T. yang
merupakan sumber kebenaran mutlak. Manakala fitrah pula merupakan hidayah yang
diberikan Tuhan kepada manusia selaku khalifah di muka bumi di mana kejadian
asalnya adalah bersifat suci dan baik. Maka, jelaslah bahawa pada dasarnya
manusia adalah makhluk yang suci dan baik, karena manusia itu dilengkapi oleh
Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri terhadap
perkara-perkara buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang
baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrah itulah menyebabkan
manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu yang dari awal mulanya cenderung ke
arah kebenaran dan kebaikan.
Neosufisme tidak serta
merta menghapuskan sufisme klasik, akan tetapi hanya ingin melepaskan
diri-pribadi dari “ikatan-tarekat”, bukan dalam maqamat dan ahwalnya. Dalam
artian bahwa masyarakat modren melakukan reaktualisasi dan redefansi dari
maqamat dan ahwal kaum sufi, diantaranya :
1. Taubat
Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, tetapi secra garis
besarnya dapat dibedakan dalam tiga kategori yaitu: pertama taubat dalam
pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus
menerus. Kedua, ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada
murka Allah. Ketiga, taubat ialah terus menerus walaupun sudah tidak pernah
lagi melakukan dosa, yang disebut dengan taubatan nasuha.
2. Zuhud
Zuhud diartikan keadaan dunia dan menjauhkan diri dari hidup kebendaan.
Namun al-ghazali mengartikan zuhud dengan mengurangi keinginan pada dunia dan
menjauhkan dirinya dengan penuh kesadaran. Menurut pandangan sufi, dunia dan
segala kehidupan materialnya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab atau
pendorong terjadinya perbuatan-perbuatan kejahatan yang menimbulakan kerusakan
dan dosa. Oleh karena itu, calon sufi harus terlebih dahulu zuhud.
3. Wara’
Al-wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Namun sufi mempunyai
pandangan tersendiri, wara’ berarti
meninggalkan sesuatu yang tidak jelas hukumnya, seperti Ibrahim bin
Adham berpendapat bahwa wara’ adalah meninggalkan segla yang masih diragukan
dan meninggalkan kemewahan. Dari segala jeninya wara’ terbagi dua yaitu wara’
lahiriyah yaitu tidak mempergunakan anggota rubug untuk hal-hal yang tidak
diridhai oleh Allah SWT, dan wara’ bathiniyah yaitu tidak mengisi hatinya
jecuali Allah.
4. Al-Farq
Al-Farq secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat,
butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali
hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, tidak meminta sesungguhpun
tak ada pada diri kita. Kalau diberi diterima, tidaka memninta. Tapi juga tidak
menolak.
5. Sabar
Secara harfiah berarti menahan. Manurut al-Ghazali sabar adalah salah satu
kondisi mental dalam mengendalikan nafsu tang tumbuhnya adalah atas dorongan
agama. Sabar yang dimaksud oleh para sufi adalah konsekuwen dan konsisten dalam
melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan laranga-Nya.
6. Tawakal
Tawakal yaitu bersandar atau memprcayakan diri kepada Allah SWT. Tawakkal
dalam kajian sufi terdari tiga tingkatan yaitu: tawakkal artinya tentramnya
hati terhadap apa yang telah dijanjikan Allah, menyerahkan urusan kepada Allah
karena Dia telah mengetahui keadaann dirinya, dan merasa ridha menerima
kekuatan Allah.
7. Ridha
Ridha secara harfiah adalah rela, suka senang. Ridha menurut Harun Nasution
adalah menerima qadha dan qadar Tuhan, dengan senang hati, untuk itu semua
perasaan benci di dalam hati harus dibuang jauh-jauh hingga yang tersisa ialah
perasaan senang dan gembira walaupun ditimpa malapetaka ia tetap senag dan
ridha menerimanya sebagaiman ketika ia mendapat rahmat dan nikmat.[6]
Singkatnya, neosufisme ingin mengajarkan bahwa dalam
menjalani hidup modren ini, nilai-nilao sufistik yang diwariskan para pendahuli
tidaklah diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, perlu dilakukan
reorentasi dan reakutilisasi agar dapat diaktualkan di tengah masyarakat
modren. Ataukah memang benar dalam literatur sufusme, ada keyakinan yang cukup
radikal bahwa bukan saja jalan menuju Tuhan itu sebanyak jumlah agama yang ada
akan tetapi lebih jauh dari itu jalan menuju Tuhan adalah banyak jumlah manusia
itu sendiri.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Latar belakang munculnya neo-sufisme adalah karena era post modernisme yang
ditandai dengan munculnya krisis demi krisis yang semakin parah dalam aspek
kehidupan, moralitas semakin terpuruk dan kriminalisasi semakin merajalela. Dua
ciri peradaban modern yang paling fundamental ialah rasionalitas dan mentalitas,
yang disebabkan oleh adanya dua unsur masyarakat modern ini, maka
terbentuklah mental manusia modern
menjadi rasional serta materialistik, karena materialistik maka manusia modern
kemudian cenderung individualistik, mengutamakan gaya hidup materialistik dan
hedonistik banyak yang mengkambing hitamkan sufisme sebagai penyebab
keterbelakangan. Maka oleh sebab inilah muncul neo-sufisme.
2. Ciri utama neo-sufisme ialah membatasi hal-hal yang sifatnya uzlah dan
zuhd, supaya kehidupan dunia tetap diperjuangkan, namun harus sejalan dengan
kepentingan akhirat dan tuntutan syari'at.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar