PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa
arti tarekat ialah jalan untuk melakukan suatu ibadah sesuai dengan yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in dan
tabi’ tabi’in secara turun-temurun hingga kepada para ulama yang manyambung
sampai pada masa kini.
Pada awalnya mulanya, tarekat belum
ada di dalam agama Islam. Akan tetapi, untuk memasuki dunia tasawuf, diperlukan
satu jalan untuk dapat mencapai tujuan utama yang dicapai oleh seseorang. Dari
situlah satu cara untuk mendaki satu maqam ke maqam lainnya yang disebut
tarekat.
Tarekat muncul karena adanya
pandangna dari para tokoh sufi yang berane ragam, meskipun pada hakikatnya
bertujuan sama, yaitu menuju ma’rifat kepada Allah dengan riyadhah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Tarekat?
2.
Bagaimana
sejarah munculnya tarekat itu?
3.
Bagaiman
perkembangan dari tarekat?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian tarekat
2.
Mengetahui
dan memahami sejaran munculnya tarekat
3.
Mengetahui
dan memahami perkembangan dari tarekat
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tarekat
Asal kata
tarekat dalam bahasa Arab ialah thariqah yang berarti jalan, keadaan,
aliran, atau garis sesuatu. Yang dimaksud disni adalah jalan yang ditempuh para
sufi.
Tarekat juga
mempunyai beberapa arti, arti lain jalan lurus (Islam yang benar, berbeda dari
kekufuran dan syirik), tradisi sufi atau jalan spritual (tasawuf), dan
persaudaraan sufi. Pada arti ketiga, tarekat berarti organisasi sosial sufi
yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta berpusat pada
hadirnya seorang mursyid.
Menurut Harun
Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang artinya jalan yang
harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan
Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Setiap thariqah
syaikh, upacara ritual, dan dzikir tersendiri.
Sebagai suatu metodologi, tarekat
disebut juga dengan suluk yang artinya kumpulan tata cara dan aturan yang
berkaitan dengan bagian-bagian di dalam tasawuf. [1]
Al-Syekh Muhammad Amin kurdi
mendefenisikan tarekat sebagai berikut
“Tarekat adalah pengalaman syariat
dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan (diri) dari (sikap)
mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.”
Abuddin nata mendefenisikan tarekat
sebagai berikut dan juga menghubungkan tarekat dengan tasawuf. “ Tarekat pada
mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan
untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syaikh. Kelompok ini
kemudian menjadi lembaga-lembag yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut
dengan aturan-aturan sebagaiman disebutkan diatas. Dengan kata lain, tarekat
adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian tasawuf adalah usaha mendekatkan
diri kepada Allah, sedangkan tarikat itu adalah cara dan jalan yang ditempih
seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah hubungan antara
tarekat dan tasawuf”.
Dengan demikian ada dua pengertian
tarekat. (1) tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakuka oleh orang-orang
yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkat kerohanian
tertentu. Tarekat dalam artian ini adalah dari sisi amaliyah. (2) tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau
organisasi yang diidrikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang
syekh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu. Maka dalam (tasawuf) menurut
aliran tarekat yang diabnutnya, kemudian diamalkan oleh para muridnya secara
bersama-sama di satu tempat disebut ribath, zawiyah atau taqiyah.
Gurunya disebut mursyid atau Syaikh
dan wakilnay disebut Khalifah.
Adapun prosesi perjalanan tarekat
dimulai dari taubat dari segala maksiat yang dilakukan oleh sang murid kemudian
penganbilan sumpah atau baiat dari murid tersebut di hadapan syaikh. Setelah
itu barulah menjalani tarekat hingga selesai, mencapai kesempurnaan dan
mendapat ijazah lalu menjadi khalifah syaikh atau mendirikan tarekat lain jika
izin diberi oleh Syaikh.
Tarekat biasanya terkesan dalam
pandangan masyarakat umum memiliki tendensi yang berlebihan terhadap aspek
spritual semata dengan mengabaikan peranan sosial, perbaikan masyarakat. Mereka
lebih terkonsentrasi pada amalan zikir dan wirid di malam dan siang hari
dan di suasana kesepian, kesan ini memunculkan kritik dan terkadang bahkan
cercaan.
Dalam lintasan sejarah, para sufi
juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan gerakan perbaikan bangsa di
berbagai negara di dunia. Sebagai contoh tarekat Qadariyah Naqsyabaniyah
melakukan gerakan perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Belanda pada
akhir abad 19 dan awal abad ke 20.[2]
seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat
dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan
syarat- syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi
akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.
Ada
2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
1. Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu
ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat
wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya
Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh
Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui
Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa,
zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan
halal dan lain sebagainya.
2. Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan
mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya
menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah
hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah
tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun
oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi
dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat
tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi
isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al
Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.
B.
Sejarah Tarekat
Pada masa awal islam, sufisme tidak
dipandang sebagai sisi batin dan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi pada
masa sekarang. Tetapi dipandang sebagai Islam itu sendiri. Terlebih lagi, dalam
rangka enumbuhkan kebangkitan aspirasi manusia sesudah fase pertama
perkembangan Islam, kalangan sufi mangatakan, “pada awalnya sufi merupakan
realitas tanpa nama, sedangkan sekarang merupakan suatu nama tanpa realitas.”
Nabi Muhammad SAW oleh para sufi
diangggap sebagai guru terbedar yang memulai mengajarkan praktik esoteris
kepada para sahabat yang pada masa berikutnya menjadi generasi penerus.
Kehidupan beliau baik sebelum maupun setelah menjadi rasul sarat dengan
berbagai ilmu, kebijaksanaan, dan amal. Para sufi menjadikan pedoman seluruh
kehidupan Nabi sebagai bukti dan ajaran tasawuf. Kehidupan beliau mencerminkan
sikap hidup sufi. Beliau selalu menjauhi karamaian hidup, menghindari kelezatan
dan kemewahan dunia, menghindari makan dan minum yang berlebihan, merenungi
segala yang ada, dan berpikir tentang adanya sang pencipta. Semua itu dilakukan
oleh beliau di Gua Hira. Semua amal dan ketekunan beliau membuat hatinya bersih
dan bersinar sehingga mengantarkan beliau untuk menerima wahyu dari Allah SWT.
Kehidupan dan perilaku keprihatiana
di dalam Gua Hira tersebut dijadikan cikal bakal kehidupan aksetis (sufi). Amal
ibadah yang dilakukan oleh Nabi kemudian dihatayi oleh para sufi. Untuk
memperoleh kebersihan kalbu dan mencapai penghayatan tentang sang Pencipta alah
dengan melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi.
Bersamaan dengan berkembangnnya
islam pada abad II Hijiriah, mulai terjadi penyimpangan sehinggga terjadi
amaliah esotis yang tidak jelas apakah berasal dari Rasulullah atau tidak.
Berangkat dari sini arti pentingnya sebuah tarekat dan pentingnnya mata rantai
yang menghubungkan silsilahnya kepada Nabi.
Pada mulanya
tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Namun seiring dengan
perjalanannya, tarekat diajarkan baik secara individual maupun kolektif.
Pengajaran tarekat kepada orang lain sudah dimulai sejak Al-Hallaj (858-922 M)
dan dilakukan pula oleh sufi-sufi besar lainnya. Dengan demikian timbullah
dalam sejarah Islam kumpulan sufi yang mempunyai syaikh yang menganut tarekat
tertentu sebagai amalannya dan memiliki pengikut.
Sistem hubungan antara mursyid dan
urid menjadi fondasi bagi pertumbuhan tarekat sebagai sebuah organisasi dan
jaringan. Fungsi mursyid yang demikian sentral sebagi pembimbing rohani dalam
rangka menjalani Maqamat, menjadikan murid secara alami menerima
otoritas dan bimbingannya. Penerimaan ini tampaknya didasarkan atas dasar
keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemungkinan yang inheren dalam dirinya
berupa kemampuan untuk mewujudkan proses dan pengalaman “bersatu” dengan Tuhan.
Akan tetapi, potensi ini terpendam dan dapat terwujud hanya dengan ilmuminasi
tertentu yang dianugrahkan oleh Tuhan, tanpa bimbingan dari seorang mursyid.
Pada mulanya, ada suatu metode
praktis – yang biasanya sejajajr dengan istilah-istilah lain seperti mazhab, ri’ayah,
dan suluk. Kemuadian tarekat berkembang yang bertujuan membimbing seorang pencari
dengan menulusuri suatu jalan berpikir, merasa, dan bertindak melalui urutan
maqamdan ahwal menuju pengalaman tentang realitas Ilahi. Dengan demikian,
sebagaimana dikemukakan oleh J. Spencer Trimingham, pada awalnya tarekat metode
gradual mistisme kontemplatif dan pelepasan diri. Sekolompok murid berkumpul
mengelilingiseorang guru sufisme terkenala, mencari pelatihan melalui persatuan
dan kebersamaan yang awalnya belum mengenal ucapan spesifik dan prosesi baiat
apa pun.
Kontras kecenderungan jalan sufistik-awal
dapat dilihat pada dua tokoh terkenal, yaitu Abu Qasim Al-Junaidi (298/910 M)
dan Abu Yazid Al Busthami. Tokoh yang pertama disebut dengan aliran Iraqi,
sedangkan tokoh yang kedua disebut dengan aliran Khurasani. Ajaran Al-Busthami
menunjukkan beberapa ciri seperti ghadabah (ekstase) dan Sukr
(kemabukan). Sementara Al-junaidi menunjukkan ciri sebaliknya. Dalam
perkembangannnya, ia tampaknya menjadi leluhur jamaah mistik dan diakui sebagai
jalur isnad yang kuat dan diterima secara luas karena kesesuainnnya
dengan ortodoksi Islam.[3]
Kelompok-kelompok pengikut jalan
mistik yang banyak selanjutnya melakukan perjalanan dan tersebardi berbagai
kawasan. Pos-pos mereka yang ada di berbagai perbatasan wilayah yang biasanya
disebut ribath, rumah-rumah peristirahatan mereka yang disebut khanaqah,
serta tempat pengucilan diri para pembimbing spritual yang disebut khalwwah
dan zawiyah; merupakan cikal bakal pusat-pusat kehidupan mistik secara
biara sufi.
Sejak abad XII, zawiyah dan knaqah
menyediakan tempat-tempat peristirahatan bagi para sufi musafir yang
menyebarkan kehidupan shaleh ke seluruh penjuru pinggiran kota. Mereka juga
memainkan peran yang menentukan dalam Islamisasi kawasan perbatasan dan
kawasan-kawasan non-arab di Asia Tenganh serta Afrika Utara. Sejak permulaan
abad XII, beberapa pusat tertentu tumbuh menjadi bibit-bit tarekat,
aliran-aliran mistik atau pusat-pusat
pengajaran. Ini terjadi apabila suatu jamaah menjadi terpusat pada seorang pembimbing
dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi suatu aliran yang didesain untuk
melestarikan nama, jenis pengajaran, latihan-latihan mistik, dan aturan-aturan
kehidupannya. Setiap tarekat diturunkan melalui mata rantai (istilah) yang
berkesinabungan atau Isnad mistikal. Kumpulan-kumpulan itu selanjutnya
mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan
peraturan-peraturan sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan
tarekat dalam tasawuf. Tarekat muncul karena adanya pandangan dari para tokoh
sufi yang beraneka ragam, meskipun pada hakikatnya bertujuan sama, yaitu menuju
ma’rifat kepada Allah dengan riyadhah.
Jalan tarekat untuk menuju
mak’rifatullah dapat dtempuh melalui tahapan berikut:
1.
Tajarrud,
yaitu melepaskan diri dari godaan dunia, sebab selalu melalaikan manusia untuk
berbakti kepada Allah SWT.
2.
Uzlah,
yaitu menyisihkan diri dari pergaulan dengan masyarakat ramai kemudian pergi
meminta petunjuk.
3.
Fakir,
yaitu tidak mempunyai apa-apa dalam kategori duniawi. Orang yang memiliki
banyak harta biasanya tidak sempat memikirkan Allah.
4.
Dawan
as-sukut, yaitu diam dan hanya berkata-kata jika bermanfaat, disamping itu
seorang salik senantiasa berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan pujian,
istighfar, tasbih, tahmid dan lain-lain.
5.
Qilah
al-akli, maksudnya sedikit makan dan minum. Banyak minum menyebabkan kantuk dan
malas sehingga menghabiskan waktu dan tidak menghasilakan sesuatu.
6.
Qiyam
al-lail, maksudnya senantiasa bangun di waktu malam dengan shalat malam.
Memperbanyak dzikir, tasbih, tahlil. Tahmid, takbir, dan istighfar.
7.
Safar,
maksudnya adalah mengembara dai satu tempat ke tempat lainnya untuk
menyempurnakan ajaran terakat yang telah diberikan oleh mursyidnya. [4]
Berikut
ini adalah nama-nama pengasas Tarekat :
1.
Tarekat
Sanusiyyah, kerajaan sabusiyyah, kerajaan (1350H/193 M) ialah pembaharuan yang berasaskan tarekat sufi yang suci. Nama kerajaan
Sanusiyyah ini diambil bersempena nama pengasas Tarekat Sanusiyyah,
iaitu Muhammad ibn Ali al-Sanusi al-Khitabi al-Hasani al-Idrisi.
2.
Tarekat Ahmadiyah,
tarekat yang diasaskan oleh Syekh Ahmad bin Idris al-Hasan (1757-1838). Dia
lahir di Fez, Maghribi dan berketurunan daripada Hasan bin Ali bin Abi Talib.
Syekh Ahmad menetap di Makkah selama 14 tahun. Semasa di Makkah, dia mendalami
berbagai-bagai ilmu pengetahuan terutamanya ilmu tasawuf. Sejak kecil lagi dia
berminat mengamalkan tasawuf. Sewaktu remaja dia telah mengikuti beberapa
tarekat yang diamalkan oleh gurunya seperti Tarekat al-Syaziliyah dan Tarekat
al-Qadiriyah. Dia juga suka mengembara untuk berguru dengan ahli-ahli sufi yang
terkenal. Pada tahun 1812, dia berpindah ke Mesir dan mengasaskan Tarekat
Ahmadiyah. Setelah lima tahun berada di Mesir, sekali lagi dia ke Makkah untuk
menyebarkan ajaran tarekatnya.
3.
Tarekat
Qadiriyah, tarekat yang diasadkan oleh syeikh Abdul Qadir al-Jilani (m. 1166 M.) di Baghdad. Beliau lahir dan dibesarkan di
kota Gilan, sebuah bandar di Iran. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dikatakan
berketurunan Ali bin Abi Talib. Bapanya, Abu Saleh bin Abdullah daripada
keturunan Hassan bin Ali, manakala ibunya, Fatimah binti Sayyid Abdullah
daripada keturunan Husin bin Ali. Ibu bapa serta nenek moyangnya ialah pengamal
tasawuf. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga pakar dalam bidang fiqah. Beliau
seorang faqih dalam mazhab Hambali. Bagaimanapun, ketokohannya lebih menonjol
dalam bidang tasawuf. Beliau dianggap Syeikhul Aulia (ketua para wali) dan wali
Qutub pada zamannya. Para pengikutnya mempercayai beliau ialah seorang yang
`keramat. Semasa hidupnya lagi, beliau telah dikunjungi oleh umat Islam untuk
mendapatkan barakah (berkat). Kini, orangramai berkunjung ke makamnya di
Baghdad untuk mendapatkan berkat.
4.
Tarekat Naqsyabandiyah,
tarekat yang tersebar di Alam Melayu. Perkataan Naqsyabandiyah tidak dapat
diberikan takrifan yang tepat dan tidak terdapat mana-mana penulisan yang
memberikan makna sebenarnya perkataan tersebut.
5.
SYEIKH HAJI MUHAMMAD
SAID AL-LINGGI, Syeikh Haji Muhammad Said al-Linggi, ulama dan
pengarang kitab. Dia terkenal sebagai ulama yang mengembangkan Tarekat
Ahmadiah yang diasaskan oleh Syeikh Ahmad Idris ad-Dandrawi. Dia
mengembara hingga Kemboja, Thailand dan Singapura, selain Semenanjung
Tanah Melayu dalam usaha mengembangkan ilmu dan tarekat.
6.
Tarekat
Rifaiyah, NURUDDIN AR-RANIRI (1658) ialah ulama, penulis,
mujaddid, dan Syeikh Tarekat Rifaiyah di India. Nuruddin terkenal sebagai
ulama yang luas pengetahuannya. Ilmu agama yang dikuasainya ialah
fikah, hadith, akidah, dan tasawuf. Dia juga pakar dalam bidang falsafah,
sejarah, dan perbandingan agama.
7.
TUAN TABAL (1816 1891).
Nama sebenarnya ialah Syekh Haji Abdul Samad bin Muhammad Salleh al-Kelantani
al-Jawi. Tuan Tabal belajar dengan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah
al-Makki dalam bidang ilmu fikah dan telah tamat belajar kitab Tuhfah. Dalam
bidang ilmu tasawuf pula dia menerima Tarekat Ahmadiyah. Ada pendapat yang
menyatakan Tuan Tabal menerima baiah Tarekat Ahmadiyah daripada Sidi Ahmad
Danderawi, dan ada yang meriwayatkan bahawa Tuan Tabal telah berguru langsung
kepada Sidi Ibrahim, murid kepada Sidi Syekh Ahmad bin Idris iaitu pengasas
Tarekat Ahmadiyah yang berasal dari Afrika Utara. Menurut sejarah, Tuan Tabal
merupakan orang yang bertanggungjawab membawa tarekat itu ke Kelantan, dan
kemudiannya tersebar ke seluruh Sememnanjung Tanah Melayu, walaupun yang lebih
terkenal dalam penyebaran tarekat ini ialah Haji Muhammad Said Linggi.
8.
Tarekat
Syatariyah. ABDURRAUF SINGKEL ABDURRAUF SINGKEL (1592-1693), ulama dan
ahli Tarekat Syatariyah, Indonesia. Nama sebenarnya Syekh Aminuddin Abdur Rauf
bin Ali al-Jawi al-Fansuri.[5]
C. Perkembangan Tarekat
Banyak orang yang salah faham tentang tarekat,
sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti
tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal
mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.
Asal-usul
Tarekat Sufi
Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada
abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang
pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah.
Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan
dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal
(jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai
oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana`
(hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu),
ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya
penglihatan hati).
Kehidupan para sufis abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut. Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosiol-politik dunia Islam.
Kehidupan para sufis abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut. Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosiol-politik dunia Islam.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan
zuhud yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan
‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi
dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi
persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya
dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut
ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri,
sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi
awal dalam sejarah.
Kanqah dan Zawiyah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya
seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan
sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan
lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian
masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki
tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu
sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah
timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di
situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan
pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.[6]
Salah
satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama.
Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari
pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat
lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah
ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat
seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari
kata takiyah, menyepi).
Tempat
lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat
tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak
militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi,
dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer,
membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi
dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.
Perkembangan
Tarekat Menjadi Pengawal Moral Banyak orang yang salah faham tentang tarekat,
sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti
tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal
mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.
Para
sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin
perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam
perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan
mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting
gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas cinta dan saling
bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat
Sufi.[7]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tarekat itu adalah pelaksanaan taqwa
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seperti usaha untuk melewati jenjang
dan maqam. Tarekat juga biisa diartikan untuk menahan hawa nafsu dan
mengasingkan ke tempat yang sunyi, tarekat ini bisa menggambarkan kesederhanaan
atau keprihatinan untuk menggapai sesuatu atau tujuan yang ingin dicapai.
[1]Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 294
[2]M.
Yasir Nasution, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007)
hlm. 120
[3]
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 298
[4]
Ibid, hlm 300
[6]
Ibid, hlm 129
[7]
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 313
Tidak ada komentar:
Posting Komentar