Jumat, 04 Maret 2016

Tasawuf Tarekat


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa arti tarekat ialah jalan untuk melakukan suatu ibadah sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dikerjakan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in secara turun-temurun hingga kepada para ulama yang manyambung sampai pada masa kini.
Pada awalnya mulanya, tarekat belum ada di dalam agama Islam. Akan tetapi, untuk memasuki dunia tasawuf, diperlukan satu jalan untuk dapat mencapai tujuan utama yang dicapai oleh seseorang. Dari situlah satu cara untuk mendaki satu maqam ke maqam lainnya yang disebut tarekat.
Tarekat muncul karena adanya pandangna dari para tokoh sufi yang berane ragam, meskipun pada hakikatnya bertujuan sama, yaitu menuju ma’rifat kepada Allah dengan riyadhah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Tarekat?
2.      Bagaimana sejarah munculnya tarekat itu?
3.      Bagaiman perkembangan dari tarekat?


C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian tarekat
2.      Mengetahui dan memahami sejaran munculnya tarekat
3.      Mengetahui dan memahami perkembangan dari tarekat











PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tarekat
Asal kata tarekat dalam bahasa Arab ialah thariqah yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis sesuatu. Yang dimaksud disni adalah jalan yang ditempuh para sufi.
Tarekat juga mempunyai beberapa arti, arti lain jalan lurus (Islam yang benar, berbeda dari kekufuran dan syirik), tradisi sufi atau jalan spritual (tasawuf), dan persaudaraan sufi. Pada arti ketiga, tarekat berarti organisasi sosial sufi yang memiliki anggota dan peraturan yang harus ditaati, serta berpusat pada hadirnya seorang mursyid.
Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarekat). Setiap thariqah syaikh, upacara ritual, dan dzikir tersendiri.
Sebagai suatu metodologi, tarekat disebut juga dengan suluk yang artinya kumpulan tata cara dan aturan yang berkaitan dengan bagian-bagian di dalam tasawuf. [1]
Al-Syekh Muhammad Amin kurdi mendefenisikan tarekat sebagai berikut
“Tarekat adalah pengalaman syariat dan (dengan tekun) melaksanakan ibadah dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah pada apa yang memang tidak boleh dipermudah.”
Abuddin nata mendefenisikan tarekat sebagai berikut dan juga menghubungkan tarekat dengan tasawuf. “ Tarekat pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syaikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembag yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaiman disebutkan diatas. Dengan kata lain, tarekat adalah tasawuf yang melembaga. Dengan demikian tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarikat itu adalah cara dan jalan yang ditempih seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah hubungan antara tarekat dan tasawuf”.
Dengan demikian ada dua pengertian tarekat. (1) tarekat sebagai pendidikan kerohanian yang dilakuka oleh orang-orang yang menjalani kehidupan tasawuf untuk mencapai suatu tingkat kerohanian tertentu. Tarekat dalam artian ini adalah dari sisi amaliyah.  (2) tarekat sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi yang diidrikan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh seorang syekh yang menganut suatu aliran tarekat tertentu. Maka dalam (tasawuf) menurut aliran tarekat yang diabnutnya, kemudian diamalkan oleh para muridnya secara bersama-sama di satu tempat disebut ribath, zawiyah atau taqiyah. Gurunya disebut mursyid  atau Syaikh dan wakilnay disebut Khalifah.
Adapun prosesi perjalanan tarekat dimulai dari taubat dari segala maksiat yang dilakukan oleh sang murid kemudian penganbilan sumpah atau baiat dari murid tersebut di hadapan syaikh. Setelah itu barulah menjalani tarekat hingga selesai, mencapai kesempurnaan dan mendapat ijazah lalu menjadi khalifah syaikh atau mendirikan tarekat lain jika izin diberi  oleh Syaikh.
Tarekat biasanya terkesan dalam pandangan masyarakat umum memiliki tendensi yang berlebihan terhadap aspek spritual semata dengan mengabaikan peranan sosial, perbaikan masyarakat. Mereka lebih terkonsentrasi pada amalan zikir dan wirid di malam dan siang hari dan di suasana kesepian, kesan ini memunculkan kritik dan terkadang bahkan cercaan.
Dalam lintasan sejarah, para sufi juga terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dan gerakan perbaikan bangsa di berbagai negara di dunia. Sebagai contoh tarekat Qadariyah Naqsyabaniyah melakukan gerakan perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Belanda pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20.[2]
seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat- syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.
Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.
1.      Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat , makan makanan halal dan lain sebagainya.
2.      Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

B.     Sejarah Tarekat
Pada masa awal islam, sufisme tidak dipandang sebagai sisi batin dan ajaran Islam sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Tetapi dipandang sebagai Islam itu sendiri. Terlebih lagi, dalam rangka enumbuhkan kebangkitan aspirasi manusia sesudah fase pertama perkembangan Islam, kalangan sufi mangatakan, “pada awalnya sufi merupakan realitas tanpa nama, sedangkan sekarang merupakan suatu nama tanpa realitas.”
Nabi Muhammad SAW oleh para sufi diangggap sebagai guru terbedar yang memulai mengajarkan praktik esoteris kepada para sahabat yang pada masa berikutnya menjadi generasi penerus. Kehidupan beliau baik sebelum maupun setelah menjadi rasul sarat dengan berbagai ilmu, kebijaksanaan, dan amal. Para sufi menjadikan pedoman seluruh kehidupan Nabi sebagai bukti dan ajaran tasawuf. Kehidupan beliau mencerminkan sikap hidup sufi. Beliau selalu menjauhi karamaian hidup, menghindari kelezatan dan kemewahan dunia, menghindari makan dan minum yang berlebihan, merenungi segala yang ada, dan berpikir tentang adanya sang pencipta. Semua itu dilakukan oleh beliau di Gua Hira. Semua amal dan ketekunan beliau membuat hatinya bersih dan bersinar sehingga mengantarkan beliau untuk menerima wahyu dari Allah SWT.
Kehidupan dan perilaku keprihatiana di dalam Gua Hira tersebut dijadikan cikal bakal kehidupan aksetis (sufi). Amal ibadah yang dilakukan oleh Nabi kemudian dihatayi oleh para sufi. Untuk memperoleh kebersihan kalbu dan mencapai penghayatan tentang sang Pencipta alah dengan melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi.
Bersamaan dengan berkembangnnya islam pada abad II Hijiriah, mulai terjadi penyimpangan sehinggga terjadi amaliah esotis yang tidak jelas apakah berasal dari Rasulullah atau tidak. Berangkat dari sini arti pentingnya sebuah tarekat dan pentingnnya mata rantai yang menghubungkan silsilahnya kepada Nabi.
Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Namun seiring dengan perjalanannya, tarekat diajarkan baik secara individual maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain sudah dimulai sejak Al-Hallaj (858-922 M) dan dilakukan pula oleh sufi-sufi besar lainnya. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam kumpulan sufi yang mempunyai syaikh yang menganut tarekat tertentu sebagai amalannya dan memiliki pengikut.
Sistem hubungan antara mursyid dan urid menjadi fondasi bagi pertumbuhan tarekat sebagai sebuah organisasi dan jaringan. Fungsi mursyid yang demikian sentral sebagi pembimbing rohani dalam rangka menjalani Maqamat, menjadikan murid secara alami menerima otoritas dan bimbingannya. Penerimaan ini tampaknya didasarkan atas dasar keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai kemungkinan yang inheren dalam dirinya berupa kemampuan untuk mewujudkan proses dan pengalaman “bersatu” dengan Tuhan. Akan tetapi, potensi ini terpendam dan dapat terwujud hanya dengan ilmuminasi tertentu yang dianugrahkan oleh Tuhan, tanpa bimbingan dari seorang mursyid.  
Pada mulanya, ada suatu metode praktis – yang biasanya sejajajr dengan istilah-istilah lain seperti mazhab, ri’ayah, dan suluk. Kemuadian tarekat berkembang yang bertujuan membimbing seorang pencari dengan menulusuri suatu jalan berpikir, merasa, dan bertindak melalui urutan maqamdan ahwal menuju pengalaman tentang realitas Ilahi. Dengan demikian, sebagaimana dikemukakan oleh J. Spencer Trimingham, pada awalnya tarekat metode gradual mistisme kontemplatif dan pelepasan diri. Sekolompok murid berkumpul mengelilingiseorang guru sufisme terkenala, mencari pelatihan melalui persatuan dan kebersamaan yang awalnya belum mengenal ucapan spesifik dan prosesi baiat apa pun.
Kontras kecenderungan jalan sufistik-awal dapat dilihat pada dua tokoh terkenal, yaitu Abu Qasim Al-Junaidi (298/910 M) dan Abu Yazid Al Busthami. Tokoh yang pertama disebut dengan aliran Iraqi, sedangkan tokoh yang kedua disebut dengan aliran Khurasani. Ajaran Al-Busthami menunjukkan beberapa ciri seperti ghadabah (ekstase) dan Sukr (kemabukan). Sementara Al-junaidi menunjukkan ciri sebaliknya. Dalam perkembangannnya, ia tampaknya menjadi leluhur jamaah mistik dan diakui sebagai jalur isnad yang kuat dan diterima secara luas karena kesesuainnnya dengan ortodoksi Islam.[3]
Kelompok-kelompok pengikut jalan mistik yang banyak selanjutnya melakukan perjalanan dan tersebardi berbagai kawasan. Pos-pos mereka yang ada di berbagai perbatasan wilayah yang biasanya disebut ribath, rumah-rumah peristirahatan mereka yang disebut khanaqah, serta tempat pengucilan diri para pembimbing spritual yang disebut khalwwah dan zawiyah; merupakan cikal bakal pusat-pusat kehidupan mistik secara biara sufi.
Sejak abad XII, zawiyah dan knaqah menyediakan tempat-tempat peristirahatan bagi para sufi musafir yang menyebarkan kehidupan shaleh ke seluruh penjuru pinggiran kota. Mereka juga memainkan peran yang menentukan dalam Islamisasi kawasan perbatasan dan kawasan-kawasan non-arab di Asia Tenganh serta Afrika Utara. Sejak permulaan abad XII, beberapa pusat tertentu tumbuh menjadi bibit-bit tarekat, aliran-aliran  mistik atau pusat-pusat pengajaran. Ini terjadi apabila suatu jamaah menjadi terpusat pada seorang pembimbing dalam suatu cara yang baru dan beralih menjadi suatu aliran yang didesain untuk melestarikan nama, jenis pengajaran, latihan-latihan mistik, dan aturan-aturan kehidupannya. Setiap tarekat diturunkan melalui mata rantai (istilah) yang berkesinabungan atau Isnad mistikal. Kumpulan-kumpulan itu selanjutnya mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan peraturan-peraturan sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan tarekat dalam tasawuf. Tarekat muncul karena adanya pandangan dari para tokoh sufi yang beraneka ragam, meskipun pada hakikatnya bertujuan sama, yaitu menuju ma’rifat kepada Allah dengan riyadhah.
Jalan tarekat untuk menuju mak’rifatullah dapat dtempuh melalui tahapan berikut:
1.      Tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan dunia, sebab selalu melalaikan manusia untuk berbakti kepada Allah SWT.
2.      Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan dengan masyarakat ramai kemudian pergi meminta petunjuk.
3.      Fakir, yaitu tidak mempunyai apa-apa dalam kategori duniawi. Orang yang memiliki banyak harta biasanya tidak sempat memikirkan Allah.
4.      Dawan as-sukut, yaitu diam dan hanya berkata-kata jika bermanfaat, disamping itu seorang salik senantiasa berdzikir kepada Allah dengan mengucapkan pujian, istighfar, tasbih, tahmid dan lain-lain.
5.      Qilah al-akli, maksudnya sedikit makan dan minum. Banyak minum menyebabkan kantuk dan malas sehingga menghabiskan waktu dan tidak menghasilakan sesuatu.
6.      Qiyam al-lail, maksudnya senantiasa bangun di waktu malam dengan shalat malam. Memperbanyak dzikir, tasbih, tahlil. Tahmid, takbir, dan istighfar.
7.      Safar, maksudnya adalah mengembara dai satu tempat ke tempat lainnya untuk menyempurnakan ajaran terakat yang telah diberikan oleh mursyidnya. [4]
Berikut ini adalah nama-nama pengasas Tarekat :
1.      Tarekat Sanusiyyah, kerajaan sabusiyyah, kerajaan (1350H/193 M) ialah pembaharuan yang berasaskan tarekat sufi yang suci. Nama kerajaan Sanusiyyah ini diambil bersempena nama pengasas Tarekat Sanusiyyah, iaitu Muhammad ibn Ali al-Sanusi al-Khitabi al-Hasani al-Idrisi.
2.      Tarekat Ahmadiyah, tarekat yang diasaskan oleh Syekh Ahmad bin Idris al-Hasan (1757-1838). Dia lahir di Fez, Maghribi dan berketurunan daripada Hasan bin Ali bin Abi Talib. Syekh Ahmad menetap di Makkah selama 14 tahun. Semasa di Makkah, dia mendalami berbagai-bagai ilmu pengetahuan terutamanya ilmu tasawuf. Sejak kecil lagi dia berminat mengamalkan tasawuf. Sewaktu remaja dia telah mengikuti beberapa tarekat yang diamalkan oleh gurunya seperti Tarekat al-Syaziliyah dan Tarekat al-Qadiriyah. Dia juga suka mengembara untuk berguru dengan ahli-ahli sufi yang terkenal. Pada tahun 1812, dia berpindah ke Mesir dan mengasaskan Tarekat Ahmadiyah. Setelah lima tahun berada di Mesir, sekali lagi dia ke Makkah untuk menyebarkan ajaran tarekatnya.
3.      Tarekat Qadiriyah, tarekat yang diasadkan oleh syeikh Abdul Qadir al-Jilani (m. 1166 M.) di Baghdad. Beliau lahir dan dibesarkan di kota Gilan, sebuah bandar di Iran. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani dikatakan berketurunan Ali bin Abi Talib. Bapanya, Abu Saleh bin Abdullah daripada keturunan Hassan bin Ali, manakala ibunya, Fatimah binti Sayyid Abdullah daripada keturunan Husin bin Ali. Ibu bapa serta nenek moyangnya ialah pengamal tasawuf. Syeikh Abdul Qadir al-Jilani juga pakar dalam bidang fiqah. Beliau seorang faqih dalam mazhab Hambali. Bagaimanapun, ketokohannya lebih menonjol dalam bidang tasawuf. Beliau dianggap Syeikhul Aulia (ketua para wali) dan wali Qutub pada zamannya. Para pengikutnya mempercayai beliau ialah seorang yang `keramat. Semasa hidupnya lagi, beliau telah dikunjungi oleh umat Islam untuk mendapatkan barakah (berkat). Kini, orangramai berkunjung ke makamnya di Baghdad untuk mendapatkan berkat.
4.      Tarekat Naqsyabandiyah, tarekat yang tersebar di Alam Melayu. Perkataan Naqsyabandiyah tidak dapat diberikan takrifan yang tepat dan tidak terdapat mana-mana penulisan yang memberikan makna sebenarnya perkataan tersebut.
5.      SYEIKH HAJI MUHAMMAD SAID AL-LINGGI, Syeikh Haji Muhammad Said al-Linggi, ulama dan pengarang kitab. Dia terkenal sebagai ulama yang mengembangkan Tarekat Ahmadiah yang diasaskan oleh Syeikh Ahmad Idris ad-Dandrawi. Dia mengembara hingga Kemboja, Thailand dan Singapura, selain Semenanjung Tanah Melayu dalam usaha mengembangkan ilmu dan tarekat.
6.      Tarekat Rifaiyah, NURUDDIN AR-RANIRI (1658) ialah ulama, penulis, mujaddid, dan Syeikh Tarekat Rifaiyah di India. Nuruddin terkenal sebagai ulama yang luas pengetahuannya. Ilmu agama yang dikuasainya ialah fikah, hadith, akidah, dan tasawuf. Dia juga pakar dalam bidang falsafah, sejarah, dan perbandingan agama.
7.      TUAN TABAL (1816 1891). Nama sebenarnya ialah Syekh Haji Abdul Samad bin Muhammad Salleh al-Kelantani al-Jawi. Tuan Tabal belajar dengan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dalam bidang ilmu fikah dan telah tamat belajar kitab Tuhfah. Dalam bidang ilmu tasawuf pula dia menerima Tarekat Ahmadiyah. Ada pendapat yang menyatakan Tuan Tabal menerima baiah Tarekat Ahmadiyah daripada Sidi Ahmad Danderawi, dan ada yang meriwayatkan bahawa Tuan Tabal telah berguru langsung kepada Sidi Ibrahim, murid kepada Sidi Syekh Ahmad bin Idris iaitu pengasas Tarekat Ahmadiyah yang berasal dari Afrika Utara. Menurut sejarah, Tuan Tabal merupakan orang yang bertanggungjawab membawa tarekat itu ke Kelantan, dan kemudiannya tersebar ke seluruh Sememnanjung Tanah Melayu, walaupun yang lebih terkenal dalam penyebaran tarekat ini ialah Haji Muhammad Said Linggi.
8.      Tarekat Syatariyah. ABDURRAUF SINGKEL ABDURRAUF SINGKEL (1592-1693), ulama dan ahli Tarekat Syatariyah, Indonesia. Nama sebenarnya Syekh Aminuddin Abdur Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri.[5]

C.     Perkembangan Tarekat
Banyak orang yang salah faham tentang tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.
Asal-usul Tarekat Sufi
Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
      Kehidupan para sufis  abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecenderungan orientasi hidup masyarakat muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut. Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke 12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosiol-politik dunia Islam.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqah) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithaar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithaar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Kanqah dan Zawiyah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.[6]
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka.
Perkembangan Tarekat Menjadi Pengawal Moral Banyak orang yang salah faham tentang tarekat, sehingga mereka tidak mau mengikutinya. Namun, mereka yang sudah mengikuti tarekatpun umumnya belum memahami bagaimana sebenarnya pengertian tarekat, awal mula dan sejarahnya, macam-macamnya serta manfaat mengikuti tarekat.
Para sufi dalam melihat tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan tasawuf, yaitu persaudaraan sufi yang didasarkan atas cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.[7]










PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tarekat itu adalah pelaksanaan taqwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seperti usaha untuk melewati jenjang dan maqam. Tarekat juga biisa diartikan untuk menahan hawa nafsu dan mengasingkan ke tempat yang sunyi, tarekat ini bisa menggambarkan kesederhanaan atau keprihatinan untuk menggapai sesuatu atau tujuan yang ingin dicapai.  



[1]Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 294
[2]M. Yasir Nasution, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) hlm. 120 
[3] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 298
[4] Ibid, hlm 300
[5]Abubakar,Pengantar Ilmu Tarekat (Aceh: Kajian Historis, 1996) hlm. 125
[6] Ibid, hlm 129
[7] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta : Amzah, 2012), hlm 313

Tidak ada komentar:

Posting Komentar